Ad Code

DomaiNesia

Cerita Inspiratif dari Dama Kara, Muncul ketika Pandemi Bertransformasi Membawa Nilai Budaya dan Inklusi


Minggu lalu, saya menghabiskan satu hari penuh di acara “Kolektif by Ekraf Hub Bandung Creative Heroes” yang digelar oleh Kemenekraf di Bandung. Acara ini mempertemukan banyak pelaku kreatif dari berbagai bidang, mulai dari fesyen, kriya, digital, sampai UMKM berbasis komunitas. Jujur, saya datang sebagai peserta tanpa ekspektasi apa pun, hanya ingin belajar dan menyerap energi kreatif Kota Kembang yang selalu terasa hangat.

Tapi ada satu momen yang benar-benar membekas. Saat sesi berbagi pengalaman berlangsung, seorang perempuan dengan pembawaan tenang namun penuh energi naik ke panggung. Namanya Nurdini Prihastiti, founder dari brand batik asal Bandung yang ternyata sudah sering saya lihat berseliweran di marketplace: Dama Kara.

Dari cara bicaranya saja saya sudah bisa merasakan: ada sesuatu yang berbeda dari brand ini. Bukan sekadar label fesyen, melainkan gerakan sosial yang tumbuh dari hati—dan ini yang akhirnya membuat saya tertarik menggali kisah mereka lebih dalam.

Dari Pandemi ke Panggung Kreatif: Bagaimana Dama Kara Lahir

Dalam ceritanya, Nurdini memulai Dama Kara pada tahun 2020, tepat saat pandemi membuat banyak bisnis gulung tikar. Alih-alih mundur, ia justru melihat peluang: mengubah cara orang melihat batik. Menurutnya, batik tidak harus selalu formal, tidak harus menunggu undangan pernikahan atau acara kantor. Batik bisa hadir dalam keseharian, dipadukan dengan jeans, sneakers, atau bahkan dipakai saat nongkrong santai.

Visi inilah yang membuat Dama Kara menghadirkan koleksi yang simple, modern, tapi tetap menjaga nilai tradisi. Outer batik, one-set batik, kebaya encim versi kekinian—semuanya dirancang agar generasi hari ini merasa dekat dengan budaya yang mereka pakai.

Dan saat saya akhirnya melihat produk-produk mereka, saya paham kenapa brand ini begitu cepat mencuri perhatian: mereka tidak hanya menjual pakaian, tapi pengalaman dan makna.


Pemberdayaan Pengrajin Lokal: Kain yang Menyimpan Cerita Komunitas


Di acara itu, Nurdini sempat menunjukkan bagaimana proses produksi Dama Kara berjalan. Ternyata, sebagian besar produk mereka dikerjakan oleh penjahit rumahan lokal di Bandung. Dama Kara memberi alat, modal, serta pelatihan agar para pengrajin bisa berkembang dan punya penghasilan stabil.

Saat ini, Dama Kara memiliki tiga sub-produksi dengan lebih dari 20 penjahit aktif. Bahkan, total tenaga kerja mencapai 60 orang yang sebagian besar berasal dari lingkungan sekitar gudang dan rumah produksi mereka.

Dalam bayangan saya, setiap helai kain Dama Kara seolah membawa cerita banyak tangan dan harapan masyarakat yang diberdayakan. Dan itu membuat nilai setiap produknya jadi jauh lebih besar dari sekadar busana.

“Teman Istimewa”: Bagaimana Difabel Menjadi Bagian dari Kreativitas Dama Kara


Bagian yang paling membuat saya merinding adalah ketika Nurdini bercerita tentang kolaborasinya dengan penyandang disabilitas—yang ia sebut dengan penuh kasih sebagai “teman istimewa.”

Melalui kerja sama dengan yayasan lokal di Bandung, Dama Kara menggelar kelas menggambar untuk difabel, termasuk anak-anak autism spectrum. Mereka diajari teknik suminagashi—seni menggambar di atas air yang menghasilkan motif abstrak nan unik.

Motif hasil karya teman-teman difabel ini kemudian diaplikasikan ke jaket dan produk non-batik Dama Kara. Lebih dari itu, mereka mendapatkan royalti dari penjualan produk tersebut.

Saya langsung terdiam sejenak saat mendengar ini. Rasanya jarang sekali ada brand yang benar-benar memberi ruang setara bagi difabel untuk berkarya dan mendapatkan penghidupan layak. Di sini saya sadar: Dama Kara bukan hanya brand, tapi wadah pemberdayaan yang hidup dan berdenyut.

Shopee Live dan Cerita di Baliknya: Dari Kamera Ponsel ke Pasar Internasional

Sebelum hadir di acara Kolektif, saya sempat melihat Dama Kara beberapa kali di Shopee Live. Tapi baru saat Nurdini menjelaskan prosesnya, saya tahu betapa pentingnya platform itu untuk tumbuhnya brand ini.

Sejak aktif live streaming, penjualan mereka meningkat drastis. Saat momen tanggal kembar, tim Dama Kara bahkan pernah siaran selama 24 jam nonstop, dan hasilnya penjualan melonjak hingga 400%.

Tidak berhenti di situ, lewat program ekspor Shopee, Dama Kara kini mengirim produk mereka hingga ke Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Saya langsung merasa bangga: batik Bandung menembus pasar internasional, dan itu terjadi berkat kombinasi kreativitas, teknologi, serta misi sosial yang kuat.

Kenapa Cerita Ini Layak Disebarkan

Setelah membawa pulang banyak inspirasi dari acara itu, saya merasa perlu menuliskan pengalaman ini. Bukan sekadar karena Dama Kara punya produk yang indah, tetapi karena brand ini mengajarkan sesuatu:

Bahwa kreativitas tidak pernah berdiri sendiri—ia tumbuh bersama keberanian, nilai budaya, dan keberpihakan pada sesama.

Dama Kara sudah membuktikan bahwa bisnis bisa berjalan bersama pemberdayaan. Batik bisa menjadi ruang inklusi. Dan karya kreatif bisa menjadi jalan bagi siapapun—termasuk difabel—untuk bersuara.

Jadi, Apakah Dama Kara Patut Dikunjungi?

Kalau kamu sedang di Bandung, atau ingin melihat langsung bagaimana kreativitas, budaya, dan inklusi berpadu, Dama Kara adalah salah satu destinasi craft & culture yang wajib kamu masukkan ke itinerary.

Kamu bisa:

- melihat proses produksi batik rumahan,

- belajar tentang pemberdayaan komunitas lokal,

- mengetahui cerita di balik motif-motif unik karya difabel,

- dan tentu saja membawa pulang produk batik dengan makna yang lebih dalam.

Dan siapa tahu, dari sebuah outer batik yang kamu beli, kamu ikut membantu keberlangsungan ekonomi banyak orang—dari penjahit lokal hingga seniman difabel yang karyanya ikut hidup bersama Dama Kara.

Posting Komentar

0 Komentar