Saya masih ingat betul aroma tanah basah yang menyambut saat melangkah ke Big Farmer, Desa Kertawangi, beberapa waktu lalu. Udara sejuk menusuk kulit, dikelilingi deretan tanaman hijau yang menari ditiup angin pegunungan. Tiba-tiba, pandangan tertumbuk pada sesuatu yang tak biasa yakni buah berwarna ungu kehitaman menggantung manis di antara dahan-dahan pohon. “Ini Anggur Brazil,” kata Kang Anggi pengurus di Big Farmer sambil tersenyum bangga. Saya mencicipinya—rasa manis-asam segar langsung meledak di lidah. Uniknya, tanaman ini butuh 13 tahun untuk berbuah jika ditanam dari nol. Tapi di sini, di lahan subur Kertawangi, pohonnya sudah produktif. Bagaimana bisa? Jawabannya sederhana: visi, inovasi, dan kepemimpinan yang tak biasa.
Desa Kertawangi, yang terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, bukan desa sembarangan. Terletak di kaki Gunung Burangrang, utara Cimahi, desa ini memiliki 70 persen wilayahnya berupa perkebunan dan lahan pertanian. Dari total 13.000 jiwa penduduk, mayoritas adalah petani, pengebun, dan peternak. Sebelum tahun 2019, desa ini seperti kebanyakan desa agraris lainnya yakni potensi alam melimpah, tapi nilai jual rendah, akses terbatas, dan pemuda banyak yang migrasi ke kota. Pendapatan per kapita stagnan, harga hasil tani fluktuatif, dan sampah menjadi masalah kronis.
Semua berubah saat Yanto—atau lebih dikenal sebagai Steve Ewon—terpilih menjadi Kepala Desa pada 2019. Ya, Steve Ewon, mantan presenter acara petualangan alam liar Jejak Rimba di salah satu stasiun TV swasta nasional. Dengan latar belakang petualang yang supel, murah senyum, dan penuh semangat, ia membawa angin segar ke desa. “Saya beralih profesi bukan untuk main-main, tapi untuk membangun desa,” katanya dalam wawancara tahun 2019. Dan ia buktikan.
Di bawah kepemimpinannya, Desa Kertawangi bermetamorfosis. Bukan hanya di bidang hortikultura—meski itu jadi andalan—tapi juga sebagai Desa Wisata Mandiri yang mengusung konsep eco-agrowisata. Brand Big Farmer lahir sebagai payung besar untuk memasarkan paket wisata berbasis alam dan pertanian. Kini, desa ini memiliki 19 destinasi wisata, mulai dari Curug Pelangi, Rose Farm, River Tubing Cicakung, hingga Natural Hill. Tak heran, desa ini sering jadi tujuan studi banding—bahkan dari luar Jawa Barat.
Big Farmer: Bukan Sekadar Wisata, Tapi Gaya Hidup
Saat berkunjung ke Big Farmer, saya merasakan sendiri bagaimana konsep desa wisata bisa berjalan secara organik. Bukan sekadar tempat foto estetik, tapi pengalaman nyata: memanen sayur di Lembah Cilayung, belajar menanam benih bersama anak-anak sekolah, atau sekadar duduk di tepi sungai sambil menikmati kopi lokal. Ada homestay sederhana dengan tarif Rp200.000–500.000 per malam, dikelola warga setempat. Pendapatan dari tiket wisata saja mencapai lebih dari Rp500 juta per tahun—angka yang signifikan untuk desa.Yang paling berkesan adalah Anggur Brazil. Bibitnya didatangkan langsung oleh Steve Ewon dari Majalengka, tepatnya dari kebun Deden Purbaya di Rajagaluh—petani sukses yang sudah membudidayakan anggur ini sejak 2016. Di tempat asalnya, anggur ini butuh 13 tahun untuk berbuah jika ditanam dari biji. Tapi di Big Farmer, berkat teknik adaptasi iklim dan perawatan intensif, pohonnya sudah berproduksi dalam waktu lebih singkat. Harganya pun premium: Rp100.000–200.000 per kg. “Ini bukan cuma buah, ini cerita,” ujar Ewon. Dan benar—cerita itulah yang dijual.Pemberdayaan yang Nyata: Dari Petani ke Pengusaha
Big Farmer bukan hanya tentang wisata. Di baliknya, ada pemberdayaan masyarakat yang masif. Lebih dari 500 UMKM terlibat, mulai dari pengolahan keripik buah organik, madu hutan, hingga suvenir berbahan daur ulang. Pendapatan petani naik 30–50 persen berkat integrasi agrowisata. BUMDes menjadi tulang punggung, mengelola penjualan paket wisata dan produk olahan. Program “Kampung Kurang Sampah” yang digagas Steve Ewon sejak 2022 bahkan meraih penghargaan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat.
Saat berkunjung ke Big Farmer, saya merasakan sendiri bagaimana konsep desa wisata bisa berjalan secara organik. Bukan sekadar tempat foto estetik, tapi pengalaman nyata: memanen sayur di Lembah Cilayung, belajar menanam benih bersama anak-anak sekolah, atau sekadar duduk di tepi sungai sambil menikmati kopi lokal. Ada homestay sederhana dengan tarif Rp200.000–500.000 per malam, dikelola warga setempat. Pendapatan dari tiket wisata saja mencapai lebih dari Rp500 juta per tahun—angka yang signifikan untuk desa.Yang paling berkesan adalah Anggur Brazil. Bibitnya didatangkan langsung oleh Steve Ewon dari Majalengka, tepatnya dari kebun Deden Purbaya di Rajagaluh—petani sukses yang sudah membudidayakan anggur ini sejak 2016. Di tempat asalnya, anggur ini butuh 13 tahun untuk berbuah jika ditanam dari biji. Tapi di Big Farmer, berkat teknik adaptasi iklim dan perawatan intensif, pohonnya sudah berproduksi dalam waktu lebih singkat. Harganya pun premium: Rp100.000–200.000 per kg. “Ini bukan cuma buah, ini cerita,” ujar Ewon. Dan benar—cerita itulah yang dijual.Pemberdayaan yang Nyata: Dari Petani ke Pengusaha
Big Farmer bukan hanya tentang wisata. Di baliknya, ada pemberdayaan masyarakat yang masif. Lebih dari 500 UMKM terlibat, mulai dari pengolahan keripik buah organik, madu hutan, hingga suvenir berbahan daur ulang. Pendapatan petani naik 30–50 persen berkat integrasi agrowisata. BUMDes menjadi tulang punggung, mengelola penjualan paket wisata dan produk olahan. Program “Kampung Kurang Sampah” yang digagas Steve Ewon sejak 2022 bahkan meraih penghargaan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat.
Kolaborasi dengan pemerintah pusat juga kuat. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) dua kali berkunjung—2024 dan 2025—untuk melihat langsung praktik baik di Kertawangi. Pelatihan untuk BPD, PKK, dan pengelola BUMDes rutin diadakan. Hasilnya? Desa ini jadi laboratorium hijau yang hidup.Mengapa Terpilih sebagai Desa Sejahtera ASTRA 2025?
Program Desa Sejahtera ASTRA (DSA) bukan hal baru. Sejak 2017, Astra telah membina 1.397 desa di seluruh Indonesia, dengan fokus pada empat pilar: pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan kewirausahaan. Tahun 2025, fokusnya adalah hortikultura—dan Desa Kertawangi terpilih sebagai salah satu pemenang di Jawa Barat. Lalu apa yang membuat Kertawangi unggul?
Program Desa Sejahtera ASTRA (DSA) bukan hal baru. Sejak 2017, Astra telah membina 1.397 desa di seluruh Indonesia, dengan fokus pada empat pilar: pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan kewirausahaan. Tahun 2025, fokusnya adalah hortikultura—dan Desa Kertawangi terpilih sebagai salah satu pemenang di Jawa Barat. Lalu apa yang membuat Kertawangi unggul?
1. Inovasi Hortikultura Berkelanjutan
Lahan 70 persen dimanfaatkan secara optimal: sayuran organik, buah langka, tanaman hias. Value jual naik 2–3 kali lipat berkat pengolahan dan branding.
2. Integrasi Agrowisata Mandiri
Bukan hanya produksi, tapi pengalaman. Mirip Bojafarm di Bogor yang sukses ekspor organik senilai $100.000, Kertawangi punya potensi ekspor via jaringan Astra.
3. Pemberdayaan Inklusif
Libatkan perempuan, pemuda, dan kelompok marginal. Pendapatan desa naik, kemiskinan turun—sesuai indikator DSA.
4. Sinergi dengan SDGs
Ramah lingkungan (zero-waste), ekonomi desa kuat, dan kearifan lokal terjaga.
Ramah lingkungan (zero-waste), ekonomi desa kuat, dan kearifan lokal terjaga.
Menurut Astra, DSA memilih desa yang “bisa jadi contoh, bukan hanya penerima bantuan”. Kertawangi membuktikannya: dari petani biasa menjadi pengusaha wisata, dari lahan tidur menjadi sumber pendapatan berkelanjutan.Seperti Anggur Brasil: Butuh Waktu, Tapi Pasti Berbuah
Metamorfosis Desa Kertawangi adalah bukti nyata bahwa desa agraris bisa bangkit—bukan dengan bantuan semata, tapi dengan visi, kerja sama, dan inovasi. Steve Ewon mungkin dulu dikenal sebagai presenter petualang, tapi kini ia adalah pahlawan desa yang mengubah narasi bahwa petani bukan lagi profesi terpinggirkan, tapi pengusaha masa depan.
Saya meninggalkan Big Farmer dengan perasaan kagum sekaligus terinspirasi. Di tengah perkembangan kota yang semakin masive, ada sebuah desa yang membuktikan bahwa alam, manusia, dan kreativitas bisa bersinergi menciptakan kesejahteraan. Seperti Anggur Brazil yang butuh 13 tahun untuk berbuah, perubahan besar juga butuh kesabaran—tapi jika proses dengan benar, hasilnya akan berbuah manis.
Jika Anda mencari inspirasi, datanglah ke Desa Kertawangi. Bawa keluarga, cicipi anggurnya, panen sayurnya, dan rasakan sendiri bagaimana sebuah desa bisa bermetamorfosis menjadi Desa Sejahtera ASTRA 2025. Dan siapa tahu—mungkin desa Anda berikutnya.







0 Komentar