Advertisement

Responsive Advertisement

Kereta Api, Jejak Kenangan, dan Cerita Perjalanan yang Tak Pernah Usang


Bagi sebagian orang, kereta api mungkin hanya sebatas alat transportasi umum. Namun, bagi saya pribadi, ia adalah teman setia yang menorehkan banyak kenangan manis dan pahit dalam perjalanan menimba ilmu. Setiap kali memutar ingatan ke masa-masa sekolah di akhir tahun 90-an, ingatan saya langsung melayang ke sebuah kereta bernama KRD – Kereta Rel Diesel jurusan Cianjur-Bandung. Bukan hanya soal rel dan gerbong, melainkan tentang semangat, perjuangan, dan pelajaran hidup yang saya temui di sepanjang jalur itu.

Saya tumbuh di daerah perbatasan antara Bandung dan Cianjur, sebuah kawasan yang menuntut saya untuk menempuh perjalanan cukup jauh setiap hari demi bersekolah di Bandung. Di tengah keterbatasan pilihan transportasi dan kondisi ekonomi yang mengharuskan hemat, kereta api KRD menjadi pilihan utama sekaligus satu-satunya yang masuk akal. Tapi jangan bayangkan perjalanan ini semudah duduk nyaman menikmati pemandangan—kenyataannya, saya harus berdesakan di gerbong penuh sesak, berdiri selama hampir dua jam setiap harinya.


Di Atas Rel, Cerita Kehidupan Mengalir

Gerbong kereta saat itu bukan hanya dipenuhi para pelajar, tapi juga pedagang kecil, ibu-ibu dengan barang dagangan, bahkan penumpang yang membawa hewan ternak seperti ayam hidup. Bau campuran solar, sayur-mayur, dan debu seakan menjadi aroma khas yang melekat di hidung setiap hari. Meski terdengar berat, di balik kepadatan dan peluh, saya menemukan cerita-cerita kecil yang begitu bermakna.

Ada saat di mana saya melihat wajah-wajah penuh harapan dari para penjual yang hendak berjualan di Pasar Ciroyom. Ada pula ibu-ibu yang dengan ramah membagikan buah atau kue ke penumpang lain, atau pedagang asongan yang melontarkan candaan khas saat menawarkan dagangan. Di ruang sempit itulah saya menyadari: kereta bukan hanya kendaraan, tapi ruang hidup. Tempat di mana banyak orang dengan tujuan berbeda menyatu, berbagi ruang, waktu, dan cerita.

Tentu, perjalanan ini tidak selalu mulus. Sering kali kereta harus berhenti mendadak karena gangguan teknis atau jadwal yang molor. Saya pernah tiba di sekolah dalam keadaan lusuh, berkeringat, bahkan sempat diejek karena tampilan yang "berantakan". Namun pengalaman itu menempa saya untuk lebih tangguh, sabar, dan mampu menghargai perjuangan orang lain.


Transformasi Kereta Api Lawas ke Masa Kini


Kini, nyaris dua dekade lebih telah berlalu sejak terakhir kali saya menaiki KRD untuk perjalanan harian. Ketika akhirnya saya kembali naik kereta, saya dibuat terpukau oleh perubahan yang terjadi. Gerbong penuh asap kini berganti menjadi ruang bersih dan sejuk dengan fasilitas modern. AC menggantikan jendela terbuka, kursi empuk menggantikan bangku kayu keras, dan ada colokan listrik di setiap kursi!

Transformasi ini bukan hanya sebatas pada fisik kereta, tapi juga pada sistem layanan yang semakin profesional. Jadwal lebih tepat waktu, suasana lebih nyaman, dan keamanan lebih terjaga. Ini menjadi bukti bahwa PT KAI dan pemerintah serius dalam membenahi wajah transportasi publik. Kini, kereta bukan lagi alternatif terakhir, melainkan pilihan utama bagi banyak orang yang ingin bepergian dengan efisien dan nyaman.


Kereta, Kenangan, dan Perjalanan Hati

Bagi saya, kereta api adalah simbol perjalanan hidup. Di atas rel itulah saya belajar arti perjuangan, melihat semangat dari wajah-wajah pejuang ekonomi kecil, dan meresapi bagaimana kesulitan bisa menjadi guru terbaik. KRD bukan sekadar moda transportasi, melainkan saksi bisu proses pendewasaan saya sebagai manusia.

Meskipun kini fasilitas kereta jauh lebih baik, ada bagian dari masa lalu yang masih saya rindukan—suara gemuruh rel, aroma khas gerbong tua, dan interaksi sederhana antarsesama penumpang. Kereta KRD mungkin sudah jadi bagian sejarah, tapi kisah dan pelajaran hidup yang lahir darinya tetap hidup di hati saya.

Cerita ini saya tuliskan bukan sekadar untuk bernostalgia, tetapi juga sebagai pengingat bahwa setiap perjalanan, sekecil apa pun, bisa menjadi guru kehidupan. Kereta api telah menjadi bagian dari perjalanan panjang masyarakat Indonesia. Ia bukan hanya menghubungkan tempat, tetapi juga hati dan kenangan.

Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk lebih menghargai moda transportasi publik dan melihat sisi kemanusiaan yang kerap tersembunyi di balik perjalanan harian yang kita anggap biasa. Karena sejatinya, setiap langkah, setiap rel yang kita tapaki, membawa pelajaran dan cerita yang layak untuk dikenang.

Posting Komentar

18 Komentar

  1. Aku juga saksi perjalanan KRL Jabodetabek. Dulu kalau berangkat kuliah mau ga mau naik kereta. Masih inget kalau banyak yang naik ke atas atap, keretanya belum ada AC, kipas angin pun seadanya.

    Sekarang, KAI makin berbenah dan makin bagus manajemennya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih terasa ya mba Rahma kenangan seperti ini meskipun sudah puluhan tahun berlalu

      Hapus
  2. Entah kenapa sy juga termasuk orang yg melihat kereta api sebagai sebuah simbol perjalanan yg ga bs sy lepaskan dr sudut pandang romantisme nya. Gak cuma soal kenangan, bahkan di kereta kekinian macam woosh sy selalu punya rasa tersendiri menikmatinya. Ga tahu ya kekenapa. It's something special for me

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah salah satu kelebihan dari seorang penulis atau blogger, ia akan menggunakan seluruh panca inderanya untuk berinteraksi dan menjadikannya sebuah kenangan yang akan selalu bisa dinikmati kapanpun

      Hapus
  3. Kereta tuh transportasi umum ternyaman buat saya. Ketika masih sekolah di Bandung, saya bisa seminggu sekali naik kereta Jakarta-Bandung. Kenyang pokoknya hahaha.

    Sekarang seringnya naik KRL. Itu pun baru bisa nikmati setelah fasilitasnya udah bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah pernah mengenyam pendidikan di Bandung juga mbak? Kebayang perjuangannya harus PP Jakarta - Bandung saat itu

      Hapus
  4. membaca kisah kak Diaz, saya jadi ingat perjuangan saat menyelesaikan studi S2. Saat itu sering banget naik kereta ke Bogor dari Sukabumi. Kereta api pilihan terbaik mengatasi jalan macet. Area favorit saya adalah ruang restorasi, sering banget jajan di kantinnya itu dan nugas disana, soalnya ada meja kalau di ruang restorasi. Beli nasi goreng sambil nugas sambil makan. Pengalaman manis dan tak terlupakan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salut buat mbak Heni yang bela-belain harus menempuh perjalanan jauh dari Bogor ke Sukabumi untuk menuntut ilmu

      Hapus
  5. Aku juga ngerasa kereta api tuh transportasi paling sentimentil. Karena suasananya emang enak banget. Beda sama bus. Padahal naik kereta paling bisa dihitung jari aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi kalo udah nyobain berkereta api jarak jauh mbak, pasti akan kerasa banget perjalanannya itu

      Hapus
  6. Senang sekali bisa mendapati kisah perjalanan dengan kereta yang Mas Dede rasakan di era akhir 90-an. Saya sendiri baru mencicipi kereta (saat itu kelas ekonomi lingkar jabodetabek yang perlahan berubah makin nyaman) di tahun 2010-an ketika sudah besar dan harus bersekolah jauh. Terbayang bagaimana akrabnya para penumpang di masa itu. Mungkin karena jumpa dengan sesama pedagang di kereta kali ya. Tapi aman kan ya? Kalau dulu, suka ada pengemis atau yang bersih-bersih gerbong sambil minta dikasih uang gitu. Copetnya juga banyak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, karena dulu sudah sering naik kereta sampe akhirnya kenal tukang jualan yang sering keliling di gerbong. Karena trayek Bandung-Cianjur saat itu cuma 2 kali sehari pas pagi-pagi sama sore hari, jadi kebayang kan padetnya setiap gerbong

      Hapus
  7. Kereta di artikel ini terasa penuh kenangan ya! Kalau kk, lebih suka nostalgia di perjalanan kota kecil atau perjalanan panjang sambil menikmati pemandangan? 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setiap perjalanan selalu ada hal yang membekas, tidak jadi masalah mau perjalanan dekat ataupun jauh. Kembali ke suasana hati kita aja sih

      Hapus
  8. sayang sekali ya kereta Cianjur-Bandung gak beroperasi lagi, saya juga punya kenangan masa kecil dengan KRD yang satu ini, setiap mudik pasti naik ini kalau perginya nyalse alias santay.

    Begitu masuk stasiun cianjur, hawanya udah beda aja, pulang kampung. nostalgia juga jadinya, karena Cianjur dulu dan kini jauh berbeda, selalu ada yang dirindukan terutama jalan yang lenglang dan pohon sejuk di sepanjang jalan.

    Sekarang panas, diajak mudik selalu nolak, hahaha. Tapi kalau ada acara keluarga besar ofkors ikut. tuh kan gara-gara kereta api jadi mengenang masa kecil, hehehe

    BalasHapus
  9. Wahh Teh Eka asli ti Cianjur? sekarang ada KA Siliwangi jurusan Sukabumi-Cipatat cukup lumayan buat alternatif transportasi ke arah Cianjur sampai Sukabumi. Dengan ongkos yang cukup 5ribu sudah bisa menikmati perjalanan kereta api melewati beberapa spot bersejarah

    BalasHapus
  10. Tulisannya bikin nostalgia naik kereta, Mba! Ada rasa hangat yang muncul dari tiap cerita dan kenangan yang dibagikan. Suka banget sama gaya bercerita yang lembut dan penuh memori. Kereta bukan cuma transportasi, tapi juga penyimpan cerita ya

    BalasHapus